WELCOME TO PANJI PRATAMA'S BLOG

Tuesday 20 April 2010

Strategi Bersaing Industri Ritel

Industri ritel merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia. Industri ini merupakan sektor kedua terbesar dalam hal penyerapan tenaga kerja, yaitu menyerap kurang lebih 18,9 juta orang, urutan kedua setelah sektor pertanian yang mampu menyerap sekitar 41,8 juta orang.

Industri ritel terbagi menjadi dua jenis:
(1) Ritel Tradisional; Ritel tradisional diwakili oleh pasar-pasar tradisional dan warung-warung kecil di pinggir jalan
(2) Ritel Modern; Ritel modern diwakili oleh Carrefour, Ramayana, Indomart, Alfamart, dan sebagainya.

Ritel tradisional di Indonesia memiliki nilai strategis. Pasar ritel tradisional di Indonesia termasuk yang paling sering dikunjungi, yaitu sebanyak 25 kali per bulan, dibandingkan dengan India dan Srilangka yang hanya 11 kali per bulan dan Filipina yang hanya 14 kali per bulan. Ada beberapa keunggulan pasar ritel tradisional, antara lain adalah kemudahan akses bagi pemasok kecil termasuk petani. Selain itu di pasar ritel tradisional dapat terjadi tawar-menawar, barangnya segar, dan dekat dengan rumah, namun pasar ritel tradisional tidak memiliki tempat senyaman pasar ritel modern.

Pasar ritel modern selain memiliki tempat yang nyaman, barang-barangnya pun memiliki standar yang tinggi dan berkualitas karena biasanya perusahaan ritel modern akan menjaga citra perusahaan. Selain itu pelayanannya pun bagus dan juga barang yang tersedia lengkap, dari barang elektronik sampai dengan kebutuhan sehari-hari. Namun, pada pasar ritel modern tidak dapat dilakukan tawar-menawar.

Perkembangan pasar ritel modern di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. Lima tahun yang lalu hampir semua supermarket berada di Jabotabek, tapi sekarang hanya 50%-nya. Pembangunan supermarket sudah meluas ke pulau-pulau lainnya, bahkan pedesaan besar di Jawa. Awalnya supermarket hanya untuk kalangan A consumers (konsumen kelas Atas). Namun, sekarang telah merambah ke B and C consumers (konsumen menengah bawah).

Ada banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari perkembangan ritel modern di Indonesia, antara lain: dimanjakannya konsumen dengan tempat perbelanjaan yang nyaman, keamanan, variasi produk yang beragam, dan juga harga produk yang bersaing. Di sisi lain kehadiran ritel modern menimbulkan beberapa permasalahan, seperti tersingkirnya pasar ritel tradisional. Hal ini tidak terhindarkan dikarenakan kemampuan bersaing mereka yang masih rendah dan juga minimnya modal yang menunjang kegiatan bisnis para peritel tradisional.

Akuisisi Alfamart oleh Carrefour memicu sebuah tanda tanya besar. Betapa tidak, untuk saat ini saja, dalam kategori ritel modern yang menjual barang kebutuhan rumah tangga, Carrefour sudah menjadi ritel dengan omzet terbesar, yaitu sekitar Rp 7,2 triliun. Dengan akuisisi Alfamart, Carrefour akan mendapat keuntungan perluasan pasar dengan tambahan 34 gerai langsung.

Bisnis modern terutama ritel terus melakukan transformasi sebagai respon economic turbulence yang terjadi pada tahun 2008 ini. Persaingan yang ketat membuat beberapa peritel dunia aktif melakukan penetrasi pasar ke emerging market yang banyak di negara berkembang.

Awalnya, pasar ritel modern Indonesia dikuasai oleh beberapa pemain ternama yang sudah lama berkecimpung dalam usaha ini seperti: Hero, Indomaret, Ramayana, Matahari, Alfa. Serbuan hypermarket asing yang begitu gencar di tahun 2000-an menjadikan peta persaingan bisnis ritel menjadi makin sengit.

Perkembangan usaha ritel modern nasional selama lima tahun terakhir sungguh mencengangkan. Menurut survei AC Nielsen (2006), jumlah pusat perdagangan, baik hypermarket, pusat kulakan, supermarket, minimarket, convenience store, maupun toko tradisional meningkat hampir 7,4% selama periode 2003-2005. Dari total 1.752.437 gerai pada tahun 2003 menjadi 1.881.492 gerai di tahun 2005. Perkembangan yang sangat tinggi ini menunjukkan bahwa pasar Indonesia memiliki potensi yang sangat menjanjikan bagi usaha ritel. Saat ini kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung, Medan, Makasar, dan Semarang menjadi basis perkembangan supermarket. Surabaya menjadi basis perkembangan supermarket dengan persentase hampir 11,6% dari total supermarket di Indonesia.

Hypermart, Makro, Giant dan Carrefour adalah nama-nama yang dikenal bertipe hypermarket. Lahan yang luas, display yang lega, pilihan barang yang sangat bervariatif dan serba ada, sekaligus menawarkan kemudahan berbelanja, menjadi karakteristik mencolok pada hypermarket.

Carrefour, raksasa ritel dari negeri Perancis yang mulai memasuki pasar Indonesia sejak awal 1998, menyebar benih keuntungan di beberapa kota. Modal pengalaman internasional menyebarkan outlet di berbagai penjuru bumi dan memiliki modal besar membuat Carrefour mampu bersaing dengan pasar domestik yang dimasukinya. Diakuisisinya saham PT Alfa Ritelindo Tbk (Alfa) oleh Carrefour, akan memperkokoh posisi Carrefour di pasar ritel Indonesia.

Muncul kekhawatiran bagaimana nasib peritel domestik, bahkan lebih jauh dikhawatirkan akan mengkanibalisasi pasar tradisional. AC Nielsen mencatat, dari tahun ke tahun dimulai tahun 2000, pangsa pasar pasar ritel tradisional terus menurun. Pada awal 2000 pangsa pasar tradisional 78,3% dan makin berkurang menjadi 70,5% di tahun 2005. Makin mengguritanya peritel asing patut diwaspadai akan mengganggu ”wong cilik” yang bekerja pada pasar tradisional. Sejalan dengan terjadinya adanya pergeseran sosial ekonomi, dari kalangan “A Consumers” (konsumen kelas atas), merambah ke “B and C Consumers” (Konsumen menengah dan bawah), maka infrastruktur pasar tradisional mutlak perlu segera diperbaiki.

Fenomena kebangkitan bisnis ritel sebenarnya sudah terlihat sejak pertengahan tahun 1990an. Survei yang dilakukan AC Nielsen (2006) menunjukkan bahwa jumlah pasar tradisional di Indonesia sebanyak 1,7 juta atau sebesar 73% dari keseluruhan pasar yang ada, sisanya sebanyak 27% berupa ritel pasar modern. Yang lebih mengejutkan adalah survei yang dilakukan FAO (2006) yang menyatakan bahwa antara tahun 1997 hingga 2005, bisnis ritel meningkat hampir 30% dengan pertumbuhan mencapai 15% untuk ritel modern dan 5% untuk pasar tradisional. Hal tersebut menunjukkan terjadinya pergeseran dari pasar rakyat menjadi pasar modern. Tingkat pertumbuhan yang berbeda jauh tersebut diperkirakan akan membuat pasar tradisional makin tersingkir dari arena persaingan. AC Nielsen dalam perhitungannya menyebutkan bahwa eliminasi pasar tradisional setiap tahunnya sebesar 1,5%.

Fenomena yang terjadi memang menunjukkan bahwa semakin tinggi populasi kemiskinan maka akan semakin banyak munculnya pasar tradisional. Di lain pihak semakin tinggi pendapatan rata-rata masyarakat per kapita, maka semakin besar kelompok konsumen menengah ke atas dan pola konsumen juga dengan sendirinya akan berubah ke pasar modern yang jauh lebih baik dibandingkan pasar tradisional seperti kenyamanan, keamanan, kebersihan, dan parkir yang luas. Survei yang dilakukan CESS (1998) menunjukkan bahwa tempat yang lebih nyaman merupakan faktor utama konsumen memilih pasar, diikuti dengan harga dan kebebasan untuk melihat lihat pada posisi ketiga.

Memang terjadi kecenderungan pergeseran pengeluaran uang para pembeli dari pasar tradisional ke pasar modern. Survei AC Nielsen (2003) menemukan bahwa konsumen di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya, cenderung membelanjakan sebagian besar dari uangnya ke pasar swalayan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan yang cukup besar dari jumlah konsumen ke pasar modern dalam setahun yakni dari sekitar 35% pada tahun 2001 menjadi 48% pada tahun 2002. Sebaliknya, persentase dari total konsumen ke pasar tradisional mengalami penurunan dari 65% ke 52% dalam waktu yang sama. Khususnya di Jakarta, minat konsumen berbelanja ke pasar swalayan meningkat cukup signifikan dari sekitar 31% pada tahun 2001 menjadi 48% pada tahun 2002. Sedangkan yang ke pasar tradisional menurun dari 69% ke 52% selama periode yang sama.

No comments:

Post a Comment