WELCOME TO PANJI PRATAMA'S BLOG

Saturday 26 December 2009

Kode Etik

Setiap bidang profesi tentunya harus memiliki aturan-aturan khusus atau lebih dikenal dengan istilah “Kode Etik Profesi”. Dalam bidang akuntansi sendiri, salah satu profesi yang ada yaitu Akuntan Publik. Sebenarnya selama ini belum ada aturan baku yang membahas mengenai kode etik untuk profesi Akuntan Publik.

Namun demikian, baru-baru ini salah satu badan yang memiliki fungsi untuk menyusun dan mengembangkan standar profesi dan kode etik profesi akuntan publik yang berkualitas dengan mengacu pada standar internasional yaitu Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) telah mengembangkan dan menetapkan suatu standar profesi dan kode etik profesi yang berkualitas yang berlaku bagi profesi akuntan publik di Indonesia.

Kode Etik Profesi Akuntan Publik (Kode Etik) ini terdiri dari dua bagian, yaitu Bagian A dan Bagian B. Bagian A dari Kode Etik ini menetapkan prinsip dasar etika profesi dan memberikan kerangka konseptual untuk penerapan prinsip tersebut. Bagian B dari Kode Etik ini memberikan ilustrasi mengenai penerapan kerangka konseptual tersebut pada situasi tertentu.

Kode Etik ini menetapkan prinsip dasar dan aturan etika profesi yang harus diterapkan oleh setiap individu dalam kantor akuntan publik (KAP) atau Jaringan KAP, baik yang merupakan anggota IAPI maupun yang bukan merupakan anggota IAPI, yang memberikan jasa profesional yang meliputi jasa assurance dan jasa selain assurance seperti yang tercantum dalam standar profesi dan kode etik profesi. Untuk tujuan Kode Etik ini, individu tersebut di atas selanjutnya disebut ”Praktisi”. Anggota IAPI yang tidak berada dalam KAP atau Jaringan KAP dan tidak memberikan jasa profesional seperti tersebut di atas tetap harus mematuhi dan menerapkan Bagian A dari Kode Etik ini. Suatu KAP atau Jaringan KAP tidak boleh menetapkan kode etik profesi dengan ketentuan yang lebih ringan daripada ketentuan yang diatur dalam Kode Etik ini.

Setiap Praktisi wajib mematuhi dan menerapkan seluruh prinsip dasar dan aturan etika profesi yang diatur dalam Kode Etik ini, kecuali bila prinsip dasar dan aturan etika profesi yang diatur oleh perundang-undangan, ketentuan hukum, atau peraturan lainnya yang berlaku ternyata berbeda dari Kode Etik ini. Dalam kondisi tersebut, seluruh prinsip dasar dan aturan etika profesi yang diatur dalam perundang-undangan, ketentuan hukum, atau peraturan lainnya yang berlaku tersebut wajib dipatuhi, selain tetap mematuhi prinsip dasar dan aturan etika profesi lainnya yang diatur dalam Kode Etik ini.
Read More......

Sunday 20 December 2009

Tujuan Hidup Saya Secara Filosofis

Apakah tujuan dari hidup? Pertanyaan ini selalu ditanya orang. Tidaklah mudah untuk memberikan jawaban yang memuaskan untuk pertanyaan ini yang nampaknya sederhana tetapi kompleks.

Sampai saat ini saya belum menemukan apa tujuan hidup saya sebenarnya. Saya ingin memiliki tujuan hidup yang tidak memiliki batas temu.

Jika sekarang diibaratkan saya sedang berjalan di tengah hutan belantara yang gelap gulita, maka tujuan hidup saya bagai lentera yang sinarnya berkilau dari kejauhan. Dengan susah payah saya akan menuju lentera itu karena hanya itu yang saya lihat. Saya tidak peduli dengan apa yang menghadang di depan saya.

Ada kalanya kaki tertusuk duri atau tersandung batu, namun saya terus melangkah. Ada kalanya saya terperosok ke dalam jurang, namun saya akan naik lagi dan terus melangkah. Ada kalanya tiba-tiba tembok yang tinggi menjulang berdiri kokoh di hadapan, namun saya akan tetap memanjat dan melewatinya. Setelah melihat sinar lentera itu, saya terus menuju ke arahnya.

Dengan perjuangan yang panjang, akhirnya saya dapat mencapai lentera itu. Setelah lentera ada di tangan, saya pun melihat cahaya lentera lain yang kilau cahayanya lebih besar. Dengan diterangi lentera tadi, saya melanjutkan perjalanan menuju ke arahnya, begitu seterusnya sampai akhirnya menuju ke sumber dari segala sumber cahaya, mencapai pencerahan jiwa dan mengetahui hakikat hidup yang sesungguhnya untuk kemudian menggapainya.

Tanpa cahaya lentera, saya tak bisa melihat apa-apa; yang ada hanya kegelapan. Tanpa cahaya lentera, saya tak akan tahu harus melangkah ke mana. Tanpa cahaya lentera, saya akhirnya akan berjalan dalam kehampaan dan hanya menunggu waktu tubuh ini lapuk dimakan usia sebelum akhirnya mati menyatu dengan tanah.

Saya tidak ingin menjadi orang biasa yang menjejakkan tapak kakinya di muka bumi ini lalu menghilang, Saya ingin setelah saya mati nanti menjadi orang yang selalu dikenang apa pun itu latar belakang mengapa saya selalu diingat orang.

Alangkah senangnya saya apabila setelah saya mati nanti masih dibicarakan banyak orang sampai berabad-abad lamanya. Berguna bagi masyarakat? Memang itu hal yang baik, tetapi berguna untuk seluruh umat manusia itu lebih baik lagi.

Dengan adanya tujuan hidup yang jelas, saya bisa melangkah dengan pasti tak peduli seganas apapun jalan yang harus dilalui. Tujuan hidup yang mengkristal membuat saya tetap beroleh cahaya walau dunia kita seakan-akan sedang gelap gulita. Dan ketika mentari bersinar saya akan tersenyum bahagia karena menyadari saya masih berada di jalan yang saya tuju. Tidak seperti mereka yang hidup tanpa tujuan, setelah mendapati jalannya berujung semak belukar, mereka berbalik arah mencari jalan lain yang lebih mudah padahal jalan yang baru itu tak berujung.

Ada pertanyaan lagi, apakah saya ingin menjadi orang yang dikenang karena aksi yang buruk atau kah aksi yang baik? Sekarang saya belum bisa menjawab tetapi satu saat nanti bisa.

Yang pasti, Saya ingin membuat kedua orang tua saya tidak pernah menyesal melahirkan saya ke dunia . . . .
Read More......

Thursday 5 November 2009

Kasus BLBI Perlu Ditangani KPK

Dengan kewenangannya, Komisi Pemberanatasan Korupsi (KPK) diharapkan dapat mengambil-alih kasus dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang pernah ditangani Kejaksaan Agung. Hal ini perlu dilakukan mengingat penanganan terhadap kasus dana sebesar Rp 144,5 trilyun itu selalu mentok di tengah jalan. Lebih-lebih Ketua Tim Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan dan pengusaha Artalyta Suryani baru saja tertangkap menerima uang sebesar Rp 61 miliar yang diduga sebagai suap.

Tertangkapnya Jaksa Urip, dua hari setelah pengumuman dihentikannya kasus BLBI dengan tersangka Syamsul Nursalim mengindikasikan kasus BLBI sarat akan praktek suap. Karena itu Jaksa Agung Hendarman Supandji harus bersikap tegas terhadap 35 jaksa yang selama ini telah terbukti gagal mengusut kasus BLBI, serta perlu membuka kembali kasus BLBI dengan tim baru. Kalau Kejagung tidak berani menghadapi para tersangka BLBI, KPK mesti turun tangan menangani kasus tersebut, serta menyeretnya ke meja hijau.

Apalagi saat ini muncul kekuatiran kasus dugaan suap terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan akan jalan di tempat. Meski banyak saksi diperiksa tetapi siapa di balik Urip dan Artalyta belum juga terungkap.
Kemungkinan ada upaya pihak-pihak tertentu yang sengaja melemahkan proses penyidikan KPK dengan menekan Antasari Ashar selaku Ketua KPK yang notabene berasal dari kejaksaan untuk tidak menyeret beberapa petinggi di Kejagung. Dukungan politik terhadap KPK dalam menuntaskan kasus BLBI dengan demikian diperlukan.

Sebelumnya upaya penegakan hukum dalam kasus BLBI memang sangat mengecewakan. Hingga tahun 2007, dari 65 orang yang diperiksa oleh Kejaksaan Agung, baru 16 orang yang diproses hingga ke pengadilan. Bahkan, pada era pemerintahan SBY-JK, tak ada satu orang pun yang diajukan ke pengadilan. Proses hukumnya hampir stagnan di tingkat penyelidikan. Bahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman dua hari sebelum penangkapan Jaksa Urip dan Artalyta Suryani telah mengumumkan penghentian penyelidikan dugaan korupsi BLBI terkait BCA dan BDNI dengan tersangka Syamsul Nursalim.

Wajar saja jika penangkapan Jaksa Urip dan Artalyta di dekat rumah Syamsul Nursalim sangat masuk akal dikaitkan dengan penanganan kasus dana BLBI. Bahkan sejumlah pengacara bersekulasi bahwa uang yang diterima Jaksa Urip bisa lebih dari 660.000 dollar AS. Karena komposisi pembayaran untuk ”penyelesaian” kasus korupsi biasanya adalah 40, 30, dan 30 persen. Artinya, 40 persen dari jumlah dana yang disepakati untuk ”penyelesaian” kasus itu dibayarkan dimuka, 30 persen dibayarkan saat masa penanganan perkara, dan 30 persen sisanya diserahkan seusai perkara itu ditutup atau selesai disidangkan.

Selain itu, sejumlah kalangan juga tidak terlalu yakin Jaksa Urip dan Artalyta bekerja sendiri. Apa yang dilakukan mereka, diketahui atasannya. Dugaan keterkaitan mereka dengan kasus BLBI, semakin jelas kalau ditelusuri asal muasal uangnya. Berdasarkan penelusuran Kompas, uang yang diserahkan ternyata jauh lebih besar dari 660.000 dollar AS. Dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ditemukan bukti uang itu diambil dari sebuah bank swasta asing dan sebagian dari Singapura, totalnya mencapai 2 juta dollar AS.

Sebelumnya beredar kabar bahwa Artalyta dikenal dekat dengan sejumlah petinggi negara. Seminggu sebelum ditangkap dan saat ditangkap, dia sempat berkomunikasi dengan pejabat. Dia juga beberapa kali ke Gedung Bundar, menemui pejabat Kejagung, terkait kasus BLBI. Ada juga info yang beredar di KPK, yaitu percakapan telepon Artalyta dengan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman dan kedatangannya ke Kejagung membawa surat jaminan dari Nursalim meski kabar itu dibantah oleh Artalyta

Sejauh ini, baik Jaksa Urip maupun Artalyta Suryani masih bersikukuh bahwa uang tersebut bukan suap kasus BLBI melainkan hasil dari bisnis jual beli permata. Karena itu, pemeriksaan secara internal di Kejagung lebih mempersoalkan pelanggaran disiplin pegawai terutama yang terkait dengan ‘jual beli’ permata itu. Hal itu menimbulkan kekuatiran, Kejagung akan mereduksi kasus suap tersebut menjadi hanya kasus “bisnis”.

Di luar KPK, sejumlah anggota DPR telah menggulirkan hak angket atau penyelidikan terhadap kasus BLBI. Atas tekanan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji kepada DPR akan menerapkan paksa badan (gijzeling) para obligor KLBI dan BLBI yang tidak menyelesaikan kewajiban. Janji itu tertuang dalam jawaban tertulis Presiden yang dibacakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat paripurna DPR pada 1 April 2008 lalu. Disebutkan delapan obligor sudah dicekal dan akan disita pada 2008. Empat di antaranya juga akan diterapkan paksa badan apabila tidak ada kemajuan. Setelah interpelasi, sebagian anggota dewan mengajukan hak menyampaikan pendapat.

Kasus korupsi BLBI dinilai oleh guru besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Prof Dr H Soetandyo Wignjosoebroto, tidak hanya terkait pelanggaran pidana, tetapi juga tergolong pelanggaran hak asasi manusia di bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial. Alasannya, dana senilai ratusan triliun yang macet seharusnya bisa dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat, membangun fasilitas pendidikan, dan pemerataan kerja. Ironisnya, alokasi anggaran BLBI tersebut tidak diimbangi dengan porsi anggaran untuk kesejahteraan rakyat.

Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia Romli Atmasasmita meminta Jaksa Agung Hendarman Supandji harus berbesar hati untuk menyerahkan kasus BLBI kepada KPK. Alasannya, jika KPK menemukan dugaan korupsi dalam penuntasan kasus korupsi, KPK wajib mengambil alih. ”Ini suap, maka kewajiban KPK meneruskan kasus ini. Ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ujarnya. Ia pun mendesak kasus BLBI dibuka lagi.

Senada dengan itu, Guru besar Universitas Diponegoro, Semarang, Satjipto Rahardjo mengatakan, sebaiknya kekuatan hukum digunakan hingga maksimal. Di Indonesia, di mana korupsi dengan segala bentuknya telah berurat berakar, kejahatan seperti itu haruslah dihadapi pula dengan cara luar biasa. ”Sepatutnya kita harus mencoba kekuatan produk undang- undang hingga titik terjauh atau sampai pada kekuatannya yang paling jauh,” kata Satjipto. DPR pun melakukan tekanan politik kepada Presiden untuk menuntaskan kasus itu.
Read More......