WELCOME TO PANJI PRATAMA'S BLOG

Thursday 5 November 2009

Kasus BLBI Perlu Ditangani KPK

Dengan kewenangannya, Komisi Pemberanatasan Korupsi (KPK) diharapkan dapat mengambil-alih kasus dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang pernah ditangani Kejaksaan Agung. Hal ini perlu dilakukan mengingat penanganan terhadap kasus dana sebesar Rp 144,5 trilyun itu selalu mentok di tengah jalan. Lebih-lebih Ketua Tim Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan dan pengusaha Artalyta Suryani baru saja tertangkap menerima uang sebesar Rp 61 miliar yang diduga sebagai suap.

Tertangkapnya Jaksa Urip, dua hari setelah pengumuman dihentikannya kasus BLBI dengan tersangka Syamsul Nursalim mengindikasikan kasus BLBI sarat akan praktek suap. Karena itu Jaksa Agung Hendarman Supandji harus bersikap tegas terhadap 35 jaksa yang selama ini telah terbukti gagal mengusut kasus BLBI, serta perlu membuka kembali kasus BLBI dengan tim baru. Kalau Kejagung tidak berani menghadapi para tersangka BLBI, KPK mesti turun tangan menangani kasus tersebut, serta menyeretnya ke meja hijau.

Apalagi saat ini muncul kekuatiran kasus dugaan suap terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan akan jalan di tempat. Meski banyak saksi diperiksa tetapi siapa di balik Urip dan Artalyta belum juga terungkap.
Kemungkinan ada upaya pihak-pihak tertentu yang sengaja melemahkan proses penyidikan KPK dengan menekan Antasari Ashar selaku Ketua KPK yang notabene berasal dari kejaksaan untuk tidak menyeret beberapa petinggi di Kejagung. Dukungan politik terhadap KPK dalam menuntaskan kasus BLBI dengan demikian diperlukan.

Sebelumnya upaya penegakan hukum dalam kasus BLBI memang sangat mengecewakan. Hingga tahun 2007, dari 65 orang yang diperiksa oleh Kejaksaan Agung, baru 16 orang yang diproses hingga ke pengadilan. Bahkan, pada era pemerintahan SBY-JK, tak ada satu orang pun yang diajukan ke pengadilan. Proses hukumnya hampir stagnan di tingkat penyelidikan. Bahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman dua hari sebelum penangkapan Jaksa Urip dan Artalyta Suryani telah mengumumkan penghentian penyelidikan dugaan korupsi BLBI terkait BCA dan BDNI dengan tersangka Syamsul Nursalim.

Wajar saja jika penangkapan Jaksa Urip dan Artalyta di dekat rumah Syamsul Nursalim sangat masuk akal dikaitkan dengan penanganan kasus dana BLBI. Bahkan sejumlah pengacara bersekulasi bahwa uang yang diterima Jaksa Urip bisa lebih dari 660.000 dollar AS. Karena komposisi pembayaran untuk ”penyelesaian” kasus korupsi biasanya adalah 40, 30, dan 30 persen. Artinya, 40 persen dari jumlah dana yang disepakati untuk ”penyelesaian” kasus itu dibayarkan dimuka, 30 persen dibayarkan saat masa penanganan perkara, dan 30 persen sisanya diserahkan seusai perkara itu ditutup atau selesai disidangkan.

Selain itu, sejumlah kalangan juga tidak terlalu yakin Jaksa Urip dan Artalyta bekerja sendiri. Apa yang dilakukan mereka, diketahui atasannya. Dugaan keterkaitan mereka dengan kasus BLBI, semakin jelas kalau ditelusuri asal muasal uangnya. Berdasarkan penelusuran Kompas, uang yang diserahkan ternyata jauh lebih besar dari 660.000 dollar AS. Dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ditemukan bukti uang itu diambil dari sebuah bank swasta asing dan sebagian dari Singapura, totalnya mencapai 2 juta dollar AS.

Sebelumnya beredar kabar bahwa Artalyta dikenal dekat dengan sejumlah petinggi negara. Seminggu sebelum ditangkap dan saat ditangkap, dia sempat berkomunikasi dengan pejabat. Dia juga beberapa kali ke Gedung Bundar, menemui pejabat Kejagung, terkait kasus BLBI. Ada juga info yang beredar di KPK, yaitu percakapan telepon Artalyta dengan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman dan kedatangannya ke Kejagung membawa surat jaminan dari Nursalim meski kabar itu dibantah oleh Artalyta

Sejauh ini, baik Jaksa Urip maupun Artalyta Suryani masih bersikukuh bahwa uang tersebut bukan suap kasus BLBI melainkan hasil dari bisnis jual beli permata. Karena itu, pemeriksaan secara internal di Kejagung lebih mempersoalkan pelanggaran disiplin pegawai terutama yang terkait dengan ‘jual beli’ permata itu. Hal itu menimbulkan kekuatiran, Kejagung akan mereduksi kasus suap tersebut menjadi hanya kasus “bisnis”.

Di luar KPK, sejumlah anggota DPR telah menggulirkan hak angket atau penyelidikan terhadap kasus BLBI. Atas tekanan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji kepada DPR akan menerapkan paksa badan (gijzeling) para obligor KLBI dan BLBI yang tidak menyelesaikan kewajiban. Janji itu tertuang dalam jawaban tertulis Presiden yang dibacakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat paripurna DPR pada 1 April 2008 lalu. Disebutkan delapan obligor sudah dicekal dan akan disita pada 2008. Empat di antaranya juga akan diterapkan paksa badan apabila tidak ada kemajuan. Setelah interpelasi, sebagian anggota dewan mengajukan hak menyampaikan pendapat.

Kasus korupsi BLBI dinilai oleh guru besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Prof Dr H Soetandyo Wignjosoebroto, tidak hanya terkait pelanggaran pidana, tetapi juga tergolong pelanggaran hak asasi manusia di bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial. Alasannya, dana senilai ratusan triliun yang macet seharusnya bisa dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat, membangun fasilitas pendidikan, dan pemerataan kerja. Ironisnya, alokasi anggaran BLBI tersebut tidak diimbangi dengan porsi anggaran untuk kesejahteraan rakyat.

Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia Romli Atmasasmita meminta Jaksa Agung Hendarman Supandji harus berbesar hati untuk menyerahkan kasus BLBI kepada KPK. Alasannya, jika KPK menemukan dugaan korupsi dalam penuntasan kasus korupsi, KPK wajib mengambil alih. ”Ini suap, maka kewajiban KPK meneruskan kasus ini. Ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ujarnya. Ia pun mendesak kasus BLBI dibuka lagi.

Senada dengan itu, Guru besar Universitas Diponegoro, Semarang, Satjipto Rahardjo mengatakan, sebaiknya kekuatan hukum digunakan hingga maksimal. Di Indonesia, di mana korupsi dengan segala bentuknya telah berurat berakar, kejahatan seperti itu haruslah dihadapi pula dengan cara luar biasa. ”Sepatutnya kita harus mencoba kekuatan produk undang- undang hingga titik terjauh atau sampai pada kekuatannya yang paling jauh,” kata Satjipto. DPR pun melakukan tekanan politik kepada Presiden untuk menuntaskan kasus itu.
Read More......